Jumat, 23 September 2011

Okezone.com


Mengembalikan Moralitas Kampus
Oleh : M. Nafiul Haris

Akhir-akhir ini istilah plagiarisme banyak dipersoalkan. Mulai dari menuliskannya di media massa ataupun lewat diskusi dan seminar. Meski kini banyak slogan bertebaran dalam buku-buku maupun dunia maya bahwa "menulis itu mudah", kenyataannya tidak sedikit para dosen yang mengajar di perguruan tinggi di Indonesia memperoleh kesulitan kenaikan pangkat karena prasyarat dalam tri dharma tidak terpenuhi.
Satu syarat dalam tri dharma yang berkaitan dengan dunia menulis adalah karya ilmiah hasil dari penelitian. Akibatnya plagiat menjadi alternatif pilihan bagi para dosen yang hanya mengejar pangkat belaka. Membaca Kompas edisi kamis, 25 Agustus, cukup menjadi bukti. Bagaimana tidak, seorang guru besar di Universitas Riau yang juga bekas dekan FKIP justru melakukan tindakan yang tak terpuji, yakni plagiarisme.
Buku yang ditulisnya berjudul Sejarah Maritim ternyata, merupakan  hasil copy-paste dari buku budaya bahari yang ditulis Mayjen Purn. Joko Pramono. Fenomena ini secara tidak langsung adalah wujud di mana ancaman runtuhnya moralitas kampus kita sudah dimulai. Kreatifitas dan kredibilitas seorang guru/dosen dipertanyakan, dosen yang seharusnya mentradisikan menulis untuk mahasiswanya justru malah sebaliknya.
 Padahal jika ditelaah seorang dosen mempunyai banyak gagasan, pengetahuan yang luas sehingga cukup untuk dituliskan. Namun ironisnya, plagiarisme masih menjadi hal menarik untuk dilakukan para dosen kita memang mudah meniru itu, tak usah bersusah-payah meriset, membaca buku dan sebagainya untuk menghasilkan sebuah karya, tinggal copy sana-sini jadilah sebuah karya tulis.

Bencana Akademis

 Akibatnya, buat pendidikan terutama kampus perilaku plagiat tadi dianggap sebagai bencana akademis ditambah lagi dengan kisruh penganugerahan gelar doktor kehormatan (honoris causa/HC) kepada Raja Arab Saudi oleh Universitas Indonesia (UI) baru-baru ini-pun menuai pro dan kontra. Rektor UI Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri, yang memberikan gelar tersebut kepada Raja Abdullah bin Abdul-Azis, 21 Agustus 2011 lalu di Istana Kerajaan Arab Saudi, diprotes banyak kalangan di dalam negeri ini semakin menyudutkan  kampus dimana etika instansi dipertanyakan. Institusi kampus di mana banyak orang berharap adanya kejujuran namun masih kecolongan juga. Pada saat ini,  bagi seorang dosen selain aktifitasnya mengajar sebagai wujud pengabdian masyarakat adalah mentradisikan menulis. Hal inilah yang menjadi titik lemah dan sulit untuk dilakukan bagi kebanyakan dosen.
Masalahnya seberapa banyak laporan penelitian dan karya ilmiah yang dapat ditulis dan dipublikasikan seorang dosen dalam kurun waktu tertentu. Seiring dengan itu rendahnya standar kompetensi dan profesionalisme mengajar dosen juga dilematis. Dengan demikian mengakibatkan banyaknya dosen yang melakukan plagiarisme demi menaikkan pangkat (sertifikasi) dan plagiarisme seperti yang dilakukan oleh seorang guru besar di Riau tersebut bisa menjadi bukti sahih betapa para dosen kita ini masih belum bisa mentradisikan menulis.
Kita tentu tidak ingin kasus diatas terjadi di Universitas lain. Karena satu dosen memplagiat semua pengajar kena getahnya. Untuk itu pada masa mendatang, verifikasi insan kampus atas karya yang dihasilan sivitas akademikanya mesti lebih diperketat, apalagi yang berkenaan dengan buku, jurnal dan sebagainya. Sebab, tanpa verifikasi yang ketat, sebuah karya akan meluncur begitu saja tanpa seleksi. Komite etik tiap kampus mesti semakin awas dalam mengawasi setiap bentuk karya yang dihasilkan para dosen.
Namun, kita juga mesti bijak melihatnya, bahwa yang terjadi ini hanyalah oknum. Tidak serta merta semua guru besar punya kans melakukan praktek haram semacam itu. Yang punya integritas masih banyak, yang jujur dalam menulis juga demikian. Ini hanya sampel kasus yang tak bisa digeneralisasi.
Yang mesti diperketat tentu saja dalam proses sertifikasi dosen. Lihat semua karya yang mereka lampirkan dalam proses itu, apakah ada bibit plagiat atau tidak. Tentunya bahan bacaan penilai harus banyak karena tanpa itu, pisau pengawasan akan tumpul. Termasuk juga membaca jurnal berbahasa Inggris karena bisa terjadi menjiplak dari sana. Semua pintu yang berpeluang menciptakan plagiarisme harus ditutup. Dengan seleksi yang ketat, kredibilitas kampus juga terjadi.

Membangun Kultur Menulis

Solusi mengatasi masalah plagiat sebenarnya sederhana, maukah kita menuliskan sumber sebenarnya bahan-bahan yang diperoleh. Kemudian,ide-ide orisinalitas yang kita miliki tetap harus dimunculkan. Bukankah menulis itu adalah kemahiran dan seni mengelola kemampuan yang dimiliki. 
Ini memang soal kemauan dan integritas ketika kita memutuskan dan memilih profesi menjadi dosen. Seorang dosen pasti memiliki sisi keunikannya. Ini bisa dilihat dari gaya, mood dalam menulis, kekuatan ekspresi asli dalam pengungkapan kata demi kata, kemudian muncul dalam karakter dari masing-masing tulisan yang dihasilkan. 
Bakat setiap orang pasti berbeda antara yang satu dengan lainnya. Komposisi kesemua hal tersebut akan menciptakan sebuah tulisan otentik yang akan menambah kaya khasanah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seorang dosen tidak usah takut untuk menulis, karena orang pasti tahu apakah itu tulisan kita yang sebenarnya atau bukan. 
Yakinlah, golongan kepegawaian tidak usah dikejar, apalagi dengan cara-cara yang tidak benar. Apabila kultur menulis telah terbentuk dengan baik, dengan sendirinya struktur akan menghampiri kita. Menulis itu tidak sulit, yang sulit bila kita tidak mau memulai. Namun semua itu tentu harus dibarengi dengan kejujuran.

Penulis
M. Nafiul Haris,
Peneliti di El-Wahid Center  Universitas Wahid Hasyim Semarang

Kamis, 22 September 2011

Analisisnews.com


Membangun Kualitas Bangsa dengan Belajar

Oleh: M. Nafiul Haris


Judul             : Menikmati Belajar Secara Kreatif
Penulis         :  Peng Kheng Sun
Penerbit      :  Samudra Biru, Yogjakarta
Tahun          :  1, Juli 2011
Tebal            :  viii + 93 halaman
ISBN              :  978-602-98448-9-4

Ditengah arus globalisasi yang sarat materialisme dan hedonisme, belajar seakan menjadi aktivitas yang membosankan. Masyarakatkhususnya pelajar dan mahasiswa cenderung menginginkan prestasi-prestasi serba instan tanpa harus melalui kerja keras dengan belajar. Ujung-ujungnya, metode jalan pintas dipilih untuk mencapai tujuan. Wajar saja jika kemudian masyarakat terjebak pada laku permisivisme yang menghalalkan segala cara untuk meraih hasil final.

Belajar seringkali dijadikan sebagai beban, karena belajar dianggap sebagai kewajiban yang sulit dilakukan. Model belajar seperti ini jelas tidak bisa dinikmati karena mengandung paksaan. Imbasnya, banyak pelajar yang semangat belajarnya menjadi kendor. Jika hal ini dibiarkan begitu saja, maka pelajar akan rugi besar karena akan banyak kehilangan ilmu pengetahuan.

Ironisnya, dewasa ini banyak dijumpai pelajar tak bergairah belajar sejak masuk SD. Pelajaran dan latihan seakan menjadi beban berat dan momok yang menakutkan. Lantas, timbul anggapan atau kesan bahwa belajar adalah pekerjaan yang amat sulit. dan seketika itu belajar menjelma menjadi musuh bebuyutan. 

Belajar sebenarnya nikmat, dan santai jika dilakukan dengan kesadaran hati dan disiasati secara cerdik dan kreatif. Buku Menikmati Belajar Secara Kreatif ini hadir dengan tujuan membangun kesadaran belajar bagi para pelajar, mahasiswa dan juga masyarakat umum.

Dalam buku ini, Peng Kheng Sun menegaskan bahwa esensi belajar itu menyenangkan selama tidak dilakukan secara terpaksa dan tersiksa, karena proses belajar itu sebenarnya lahir dari sebuah kesadaran diri dan pengolahan terhadap potensi yang telah ada. Jika hal ini dilakukan secara baik, niscaya pelajar akan menjadi insan merdeka, mampu memanusiakan manusia, dan mampu bertanggung jawab atas apa yang dilakukan (hal: 67).

Menurut Peng Kheng Sun, ada empat hal dalam mengatasi kejenuhan belajar. Pertama, melakukan variasi dan inovasi baru dalam belajar. Variasi bisa dilakukan dengan cara menggali ide-ide baru tentang cara belajar, baik secara orisinil dari pikiran sendiri maupun yang diperoleh dari orang lain. Kedua, menciptakan lingkungan belajar yang segar. Misalnya, lewat penataan ruangan yang rapi, tenang, dan bersih jelas akan menimbulkan suasana yang yang nyaman dan jauh dari kejenuhan. Ketiga, mencari penyebab kejenuhan. Bisa jadi seperti masalah pribadi yang mengganggu konsentrasi belajar. Jika perlu, berkonsultasilah dengan orang tua, guru, kawan, senior, yang dipercaya bisa menolong. Keempat, bergabunglah dengan teman-teman yang minat dan prestasi belajarnya tinggi, karena pergaulan akan terpengaruh sesuai dengan lingkungan komunitasnya (hal: 14).

Buku ini sangat menarik dan penting untuk dibaca oleh setiap pelajar, bahkan pengajar sekalipun guna mewujudkan diri menjadi pembelajar sejati secara kreatif, sekaligus dalam rangka membangun masa depan bangsa yang lebih baik. Buku ini merupakan karya revolusioner dari penulisnya, karena ia mampu menghadirkan sikap dan pandangan baru tentang belajar, utamanya dalam merubah metode belajar yang membosankan menuju kenikmatan.

Tak sekadar berisi motivasi, buku ini juga memuat kiat-kiat praktis sukses belajar dan memberikan gagasan-gagasan baru yang membuka alam pikir, sehingga diharapakan kepada para pelajar bisa menjadi  sosok-sosok manusia cerdas di masa depan. Sudah saatnya membangun bangsa ini menjadi lebih baik dengan belajar. Dan sudah saatnya bangsa ini mewujudkan belajar kreatif sebagai salah-satu jalan terbaik menuju bangsa yang berkualitas.


Peresensi  adalah M. Nafiul Haris, Peneliti el- Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang
(Di muat Analisisnews.com, Minggu, 21 Agustus 2011)

Koran Jakarta


Gagasan
Senin, 19 September 2011 | 00:36:19 WIB

PERADA
Membangun Integrasi dengan Etika
Akhir-akhir ini di Indonesia, etika publik banyak dibicarakan. Terlebih, ada kesan etika publik disamakan dengan etika politik. Ada yang mengira hanya sebagai etiket bermasyarakat saja, bahkan ada yang menafsirkannya sebagai kewajiban publik untuk menghormati etika. Buku Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi hadir dengan tujuan membantu membangun integritas publik para politisi dan pejabat publik.

Konflik kepentingan, korupsi, dan birokrasi yang berbelit adalah cermin buruknya pelayanan publik. Masalahnya, bukan hanya terletak pada kualitas moral seseorang saja (jujur dan adil), namun terutama pada sistem yang kondusif. Sebetulnya, banyak pejabat publik dan politisi yang jujur dan serius berjuang untuk kepentingan publik. Etika publik diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik.

Haryatmoko menekankan etika publik bukan hanya kode etik atau norma, tapi bagian dimensi reflektifnya. Etika publik juga membantu dalam mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik, sekaligus alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etisnya. Etika publik diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik (hlm 33).

Supaya budaya etika publik ini bisa menjadi praktik kehidupan dalam organisasi, keterlibatan sosial, politik, akuntabilitas dan transparansi perlu ditekankan. Di antaranya dengan mengusahakan pembentukan komisi etika dan pembangunan infrastruktur etika, transparansi dalam hal pengadaan barang atau jasa publik, juga kompetensi pejabat publik yang khusus meniti bidang ini.

Kuatnya kontrol yang dilembagakan dalam manajemen dan orientasi pada nilai itu diharapkan membantu mencegah konflik kepentingan, sehingga membuat pejabat lebih responsif terhadap kebutuhan publik. Jadi, arah etika publik difokuskan pada upaya menciptakan budaya etika dalam organisasi. Maka untuk menggerakkan ke arah budaya etika ini, dalam setiap instansi pemerintahan perlu dibentuk Komisi Etika. Hal inilah yang coba diungkapkan Haryatmoko dalam buku bertebal 217 halaman ini.

Dalam pandangan Haryatmoko, pemberdayaan civil society untuk integritas publik dilakukan dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pelayanan publik serta melalui Kartu Pelaporan oleh Warga Negara, pembentukan jaringan dan pendidikan, pelatihan dalam rangka pemberantasan korupsi dan ikut serta dalam pengawasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Semua itu dapat mencegah konflik kepentingan dan melihat bagaimana praktik serta penerapannya di dalam lingkungan pekerjaan (hlm 99).

Baginya, membangun akuntabilitas dan transparansi merupakan kemungkinan modalitas untuk menjamin integritas publik para politisi dan pejabat publik karena integritas publik merupakan keutamaan sosial yang harus dilatih dan dibiasakan dalam keterlibatan sosial-politik serta organisasi dan pengabdian masyarakat. Dengan begitu, maka manajemen organisasi harus mengintegrasikan standar etika agar pelayanan publik menjadi lebih fokus, berkualitas, dan relevan.

Buku ini, sebagai salah satu upaya membantu membangun budaya etika publik dalam organisasi. Dengan membaca buku ini, pembaca diajak mendalami bagaimana mampu memisahkan dengan tegas antara wilayah publik dan wilayah pribadi, maka dengan demikian etika publik menjadi sangat relevan untuk diajarkan.

Selesai membaca buku ini, saya seperti meneguk air segar. Ada sesuatu yang membekas dipojok hati. Mungkin ini yang dimaksud Franz Kafka, seorang penulis asal Jerman, bahwa "A book must be an ice-axe to break the seas frozen inside our soul".

Peresensi
M. Nafiul Haris, Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang

Judul : Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi
Penulis : Haryatmoko
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun : 1, Juni 2011
Tebal : 217 halaman
IHarga : Rp55.000

Kamis, 15 September 2011

Resensi Harian Pelita


Meneguhkan Kembali Pendidikan Karakter
Oleh : M. Nafiul Haris
Judul        : Pendidikan Karakter Membangun Delapan Karakter Emas Menuju  Indonesia Bermartabat
Penulis     : Bagus Mustakim
Penerbit   : Samudra Biru, Yogjakarta
Tahun      : 1, 2011
Tebal        : xiv+ 120 halaman
ISBN        : 978-602-98448-5-6


Akhir-akhir ini tema pendidikan karakter banyak dibicarakan orang. Mulai dari pejabat di kementerian pendidikan (pusat dan daerah), pengamat pendidikan, budayawan, sampai politisi.  
Karakter merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang diyakini dapat berubah, dari baik menjadi jelek atau sebaliknya. Itulah sebabnya pembangunan karakter menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dalam skala individu maupun bangsa.
Di dalam bahasa yang lebih sederhana, karakter sama dengan watak, yaitu pengembangan dari jati diri seseorang. Karena karakter lebih mencerminkan jati diri daripada aspek kepribadian dari seorang manusia yang lainya seperti identitas, intelektual, keterampilan, dan sebagainya.
Oleh sebab itulah pengembangan karakter menjadi sesuatu yang sangat penting dan strategis karena seringkali diidentikkan dengan budi pekerti atau akhlak. Dalam budaya Jawa misalnya, nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa sangat pantas untuk dijadikan pedoman pengembangan karakter seseorang.
Buku karya Bagus Mustakim, hadir untuk meneguhkan kembali pendidikan karakter yang selama ini melenceng dari undang-undang. Padahal jika ditelaah lebih lanjut,dalam pendidikan semua itu mengamanatkan pembentukan karakter akan tetapi menampilkan praktik yang berbeda.
Dalam pandangan Mustakim, pendidikan selama ini lebih berorientasi pada kecakapan akademik dan vokasional serta mengesampingkan pendidikan karakter bangsa. Meskipun dalam batas-batas tertentu dapat ditemukan praktik pendidikan karakter, namun praktik itu mengarah pada pendidikan yang bersifat simbolik dan formalistik, bahkan cenderung politis (hlm; 41).
Di samping itu peyelenggaraan pendidikan juga terjebak pada orientasi lain yang keluar dari tujuan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang menurut undang-undang ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat bergeser ke arah praktik yang cenderung kapitalistik. Pendidikan bergeser menjadi salah satu bagian dari elemen kapitalisme yang memiskinkan rakyat (hlm; 54).
Jika hal di atas tidak segera diatasi, maka bukan tidak mungkin apa yang dikhawatirkan bangsa ini akan muncul, yakni perilaku anarkis, tawuran antar-warga, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan berbagai tindakan patologi sosial lainnya yang menunjukkan indikasi adanya masalah akut dalam bangunan karakter bangsa.
 Apalagi penyelenggara pendidikan di Indonesia lebih memilih paradigma konservatif yang berfungsi melestarikan tradisi-tradisi modern yang eksploitatif. Fenomena patologi sosial tersebut jelas bertentangan dengan visi dan misi pendidikan dalam membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional.
Untuk mengatasi semua itu Mustakim menawarkan, meneguhkan pendidikan karakter adalah solusi terbaik. Meskipun terlalu berlebihan karena pendidikan karakter seakan-akan diposisikan sebagai dewa penyelamat. Banyak orang mulai pakar sampai praktisi pendidikan, meyakini bahwa pendidikan karakter dapat menjadi obat yang mujarab bagi persoalan-persoalan karakter kebangsaan (hlm; 108).
Dengan demikian yang diperlukan adalah revitalisasi pendidikan karakter di sekolah. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter, yang sejatinya menjadi misi sekolah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam praktik pendidikan. Karena pendidikan karakter bukanlah konsep baru dalam praktik pendidikan nasional. Berbicara pendidikan karakter berarti mengembalikan sekolah pada tugas pendidikanya sesuai undang-undang, yakni membangun karakter bangsa.
Dalam buku ini, Mustakim juga menjelaskan tentang konsep pendidikan karakter yang dibangun secara komperenshif melalui kajian historis, paradigmatis, sampai tingkat praktis. Dengan demikian, diharapkan para pembaca dapat memahami konsep pendidikan karakter secara utuh sekaligus dapat mengimplementasikannya pada wilayah praktis.
Karya ini lahir dari kegelisahan penulisnya terhadap perkembangan wacana pendidikan karakter belakangan ini. Pendidikan karakter seolah menjadi “agama baru” dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Buku ini menarik dan penting untuk  dibaca oleh guru-guru di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan dari tingkat paling bawah hingga yang paling tinggi.
( Dimuat Harian Pelita, Sabtu 10 September 2011)

Peresensi  adalah M. Nafiul Haris, Peneliti el- Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang

Rabu, 14 September 2011

RADAR Lampung


Desa Sebagai Pilar Pertumbuhan

Oleh: M. Nafiul Haris

Desa tak hanya sekadar satuan wilayah terkecil dalam konteks kenegaraan. Desa adalah basis eksistensi suatu negara. Bahkan, boleh dikatakan, desa merupakan soko guru penting eksistensi suatu negara. Tak kurang dari 68 persen penduduk Indonesia, berada di desa.
Berbagai negara maju, seperti Perancis, yang telah lama menganut asas desentralisasi dan otonomi daerah, desa merupakan sentra perubahan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat. Orientasi pembangunan menjadikan desa sebagai basis. Karenanya desa juga dinyatakan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sosial, dan politik (khasnya demokrasi).
Sampai 1999, Indonesia telah mempunyai UU No. 5/79 tentang Pemerintahan Desa, melengkapi UU No. 5/74, yang dimaksudkan untuk mengakomodasi prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Namun, ketika refomasi berlangsung (dengan semangat reformasi), disertai uforia otonomi daerah yang membuncah, kedua undang-undang ini kemudian diubah menjadi UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Tak dapat disangkal, sejak Indonesia merdeka dan dipimpin Bung Karno, desa tumbuh dan berkembang dengan caranya sendiri. Kota selalu tumbuh dinamis, berkembang pesat, sehingga menimbulkan disparitas antara desa dan kota. Pemerintahan Soeharto hendak mengatasi hal ini, antara lain dengan menerapkan prinsip perencanaan pembangunan spasial dan membentuk Bappeda (Badan Perencanaan Daerah) di tingkat Kabupaten, Kota, dan Provinsi. Lantas membentuk LSD (Lembaga Sosial Desa), LMD (Lembaga Musyawarah Desa), LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan akhirnya LPMD (Lembaga Pembangunan Masyarakat Desa). Belakangan, sejak 2004, berlaku Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dari tingkat desa sampai tingkat nasional. Tapi desa belum juga menjadi pusat pertumbuhan.
Realitas inilah yang menyebabkan berlakunya migrasi yang menjelma sebagai urbanisasi di kota-kota, dan membuat DKI Jakarta, sebagai ibu kota negara, terancam stag total! Terutama, ketika desa tak dilihat secara kontributif atas kota, dan masih selalu dipandang sebagai hinterland (daerah pedalaman) atau bufferzone.
Karena mayoritas kita adalah orang desa, -paling tidak bermoyang orang desa-, mestinya tak ada alasan untuk mengabaikan desa. Apalagi, strategi pembangunan kita berorientasi pada penanggulangan kemiskinan, pro pertumbuhan, pro kesempatan kerja, dan pro lingkungan hidup. Penguatan desa sebagai pusat pertumbuhan, merupakan bagian strategis dari manifestasi seluruh orientasi pembangunan itu.
Instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009 sudah jelas. Menteri Dalam Negeri dan para menteri terkait mesti berinisiatif dan memberi prioritas pada pembangunan desa sebagai pusat pertumbuhan. Karenanya, tak ada alasan bagi aparatur pemerintah (termasuk anggota parlemen) untuk berlama-lama menunda pembahasan UU tentang Pemerintahan Desa.

Menuju Desa Maju
Dalam memajukan sebuah desa, harus dilandasi beberapa alasan. Pertama, adanya peningkatan dalam hal perekonomian di desa tersebut. Kedua, mata pencarian masyarakat desa harus berbasis komponen kearifan lokal, misalnya pertanian desa  harus mandiri dan memiliki sistem irigasi yang baik. Itu apabila kebanyakan warga desa rata-rata memiliki penghasilan dari pertanian.
Contoh dalam memajukan pertanian, hendaknya dimulai dari hal terkecil, seperti desa memiliki koperasi untuk memberi kemudahan bagi warga dengan bunga kecil. Memberi kelonggaran kepada warga untuk menaikan ekonominya sendiri dengan mengoptimalkan koperasi desa. Desa disebut maju dan mandiri jika desa memiliki aturan yang fleksibel berbasis gotong royong. Komunalisme telah lama menjadi spirit masyarakat desa sekian abad lalu.
Selanjutnya, yang harus dikembangkan adalah yang memegang peranan penting dalam desa itu sendiri, yakni pemerintah desa setempat harus selalu memperhatikan desa dalam perekonomian, politik, budaya, agama dan hal-hal lainnya.
Di sisi lain, profesonalisme dalam suatu pedesaan sangat dibutuhkan demi tercapainya desa yang maju dan mandiri. Buktinya, di desa Salam, Sumatera Utara, gotong royong sangat ditekankan agar warganya selalu kompak dan mau bahu membahu. Itu suatu contoh profesionalisme khas desa, karena mereka tidak meminta bayaran dan mengerjakan itu dengan gotong royong tanpa pamrih untuk memajukan desa.
Profesionalisme tanpa didukung inisiatif kerja dalam hal membagi waktu masyarakatnya, menuju desa yang layak dikatakan maju tidak cukup. Di sini, inisiatif kerja bisa dilihat dalam hal pembagian waktu dalam ronda malam untuk keamanan desa. Desa yang maju harus memiliki pertahanan dan keamanan (hankam) yang kuat dan intensif.
Dalam APBDes, pemasukan dan pengeluaran desa juga harus diperhatikan. Hal ini diperlukan agar desa tak mengalami defisit anggaran. Perencanaan anggaran desa harus mempertimbangkan potensi pemasukan dan skala prioritas kebutuhan masyarakat.  
Sumber Daya
            Sudah tidak diragukan lagi, desa memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Jika dikelola dengan baik secara profesional dan terorganisir, maka potensi desa untuk maju sangat dimungkinkan. Namun jika dalam hal untuk memajukan sebuah desa yang dulu menjadi masalah karena minimya lulusan sarjana dengan SDM yang memadai, kini hal itu bukanlah suatu masalah lagi yang perlu dikhawatirkan, karena sekarang sudah banyak lulusan sarjana  di desa dalam berbagai bidang.
Dengan adanya para lulusan perguruan tinggi untuk mewujudkan desa maju semakin jelas, pemerintah desa harus memaksimalkan dan memberi ruang bagi sarjana di desa untuk mengimplementasikan ilmunya. Secara bertahap, desa yang dulunya masih tertinggal baik dari bidang ekonomi akan lebih baik daripada sebelumnya. SDM di desa akan mendorong peningkatan pengetahuan masyarakat untuk memberdayakan potensi alam di desanya. Yang paling mungkin dilakukan adalah pengembangan pertanian dan peternakan yang saling integratif dan menguntungkan. Sisa tanaman dan rumput dapat menjadi pakan ternak, sementara kotoran ternak akan menjadi pupuk.
Dengan bukti di atas, bukan tidak mungkin jika desa dikatakan sebagai pilar pembangunan. Saatnya orang desa sadar bahwa dia hidup di dalam wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, tak perlu lagi berbondong-bondong urbanisasi (merantau) ke kota-kota besar seperti Jakarta dan kota-kota besar lainya demi memperbaiki kondisi ekonominya. Masyarakat desa harus sadar, bahwa desa lebih menjamin dirinya untuk maju dan sukses tanpa harus urbanisasi.
Dimuat Radar Lampung 10 Agustus, 2011